Pages

09 December 2008

Workshop Sukarelawan CKS

CARITAS SIBOLGA – Sabtu (06/12) Departemen Sosial Caritas Keuskupan Sibolga (CKS) menggelar workhsop, bertemakan “kesukarelawanan”. Workshop dimulai dengan presentasi landasan teologi tentang kesukarelawanan yang dibawakan oleh Pastor Hans Jeharut, Pr. Acara dilanjutkan dengan presentasi proyek Caritas Centre yang dibawakan oleh wakil direktur CKS, Pastor Raymond Laia, OFM. Cap. Setelah itu acara dilanjutkan dengan Tanya jawab. Sejumlah peserta secara antusias menyampaikan pertanyaan dan pertanyaan. Acara berakhir pukul 18.oo wib dan ditutup dengan doa.***

Hilimbaruzö Project: Mission Impossible

Mengandalkan Kekuatan Partisipasi Masyarakat

Puncak Gunung.
Proyek Hilimbaruzö terletak pada ketinggian 800 meter dari permukaan laut

Anda ditugaskan membangun 123 unit rumah di Hilimbaruzö. Letak nya di puncak gunung. Tanpa jalan beraspal dan kendaraan pengangkut. Karena 8,7 kilometer jalan yang tersedia hanya jalan setapak. Harus melintas sungai. Diikuti tanjakan ekstrim. Rawan longsor dan banjir. Satu-satu nya harapan mengangkut material cuma tenaga manusia. Mustahil bukan (?)


HILIMBARUZÖ berarti pohon besar di puncak gunung, itu nama desa di kecamatan Gomo, Nias Selatan (Nisel). Berada 800 meter dari permukaan laut. Sewaktu diguncang gempa bumi pada 29 Maret 2005, desa itu rusak parah. Letak yang terisolir, membuat Hilimbaruzö luput dari perhatian. Tak satupun organisasi kemanusiaan yang mengirim bantuan ke sana.


Tiga tahun lalu Caritas memulai program di Hilimbaruzö. Sebuah program livelihood (peningkatan taraf hidup) melalui proyek rekonstruksi. Program itu meliputi pembukaan jalan, pembangunan rumah dan penyediaan sarana air bersih. Tujuan nya membantu korban gempa dan masyarakat miskin.


Caritas memulai dengan proyek jalan pada Mei 2006. Punggung gunung Olayama dirambas menjadi jalan sepanjang 8.7 km. Tapi proyek ini terhenti karena faktor geologi (tanah). Struktur tanah yang labil, menyebabkan beberapa ruas jalan ambruk. Caritas memutuskan penelitian ulang dengan bantuan Catholic Relief Services (CRS). Ditengah proses penelitian dan persiapan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nisel berinisiatif mengambil alih. Caritas mengalah. Pada Desember 2007, proses pembangunan jalan resmi berpindah dari Caritas kepada Pemkab Nisel.


Proyek dilanjutkan dengan pembangunan rumah. Situasi bertambah sulit, karena jalan yang seharusnya mempermudah distribusi material, urung selesai. Hanya ada jalan tanah berbatu cadas. Belum bisa dilintasi kendaraan. Satu-satu nya peluang tersedia hanya memanfaatkan tenaga manusia. Material harus dipanggul sejauh 12 km. Tapi jelas, ini ide tak lazim.


Caritas memutuskan mendiskusikan ide tak lazim itu dengan masyarakat. Florentino Sarmento, 50 tahun, staff senior CRS yang mendampingi proyek Hilimbaruzö, menjadi ujung-tombak komunikasi. Dia berulang-ulang mengunjungi Hilimbaruzö dan berdialog dengan masyarakat. Masyarakat setuju. Tapi Florentino masih ragu.”Mampukah masyarakat melakukan pekerjaan tersebut?” tulisnya dalam artikel Rekonstruksi dan Rehabilitasi Desa Hilimbaruzö (2008).


Keraguan Florentino terjawab. Pada Agustus 2008, 20 unit rumah untuk fase I, berhasil dibangun. Lebih dari 6000 orang bahu-membahu, memanggul material seberat 124.000 kg (124 ton). Kejadian itu mirip mitologi Jawa tentang Bandung Bondowoso. Raja yang jatuh cinta kepada gadis cantik, Roro Jongrang dan bersedia membangun 1000 candi dalam waktu satu malam.


Tapi Hilimbaruzö bukan mitologi. Tommy Lumbantoruan, 32 tahun, civil enginering (ahli konstruksi) CRS angkat bicara. Dia membuka rahasia dibalik keberhasilan itu. Tommy menyebut dua faktor kunci keberhasilan proyek ini, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi sistem, kerjasama team dan pemilihan metodologi. Dan Faktor eksternal adalah dukungan dan hubungan baik dengan masyarakat.

“Kita membangun rasa kepemilikan (sense of belonging). Proyek ini berhasil bukan karena usaha satu orang, tapi semua orang…,” ungkap Tommy menjelaskan rahasia dibalik solidnya team Hilimbaruzö.


Faktor lain adalah metodologi. Rumah didesain dengan konsep baja ringan (LGS) sehingga bisa cepat dibangun. Setelah pondasi selesai, hanya butuh seminggu, rumah sudah berdiri sempurna.” Per-minggunya kita bisa merealisasikan 10 persen dari progress actual,” imbuh Tommy.


Faktor kedua adalah dukungan dari masyarakat. ”Kita melibatkan fadus, fades (fasilitator dusun, fasilitator desa - red) secara integral dalam proyek kita,”lanjut Tommy. Menurut Tommy, para fasilitator ini menjadi perekat antara masyarakat dengan Caritas. Setiap permasalahan dibicarakan melalui forum rutin, itu yang menyebabkan mobilisasi masa bisa dilakukan secara kolosal.


Saat ini, proyek Hilimbaruzö memasuki fase II. Pembangunan pondasi sudah mencapai 100 persen. Diperkirakan pertengahan Februari 2009, seluruh proyek akan selesai. Artinya, proyek ini lebih cepat empat bulan dari jadwal semula. Dan itu terjadi karena kekuatan partisipasi masyarakat. ***

06 December 2008

Mengutamakan yang lemah dan miskin


Mengutamakan yang mereka yang lemah dan miskin, ini adalah dalil yang dipegang Gereja dalam pelayanannya. Caritas sebagai lembaga sosial Gereja mewujudkan hal ini dalam karya-karyanya, tak terkecuali proyek pembangunan rumah bagi korban gempa. Sampai sekarang semua proyek perumahan yang dijalankan oleh Caritas Sibolga, selalu mengikutkan kaum lemah dan miskin. Selain kriteria korban gempa, Caritas memasukkan juga dalam kriteria untuk menyeleksi calon penerima rumah: janda, duda, yatim-piatu, dan miskin (tinggal dalam gubuk/rumah yang tak layak huni).

Hal ini misalnya telah diterapkan di proyek pembangunan rumah di Desa Hilimbaruzo, Kec. Gomo, Kab. Nias Selatan. Dalam foto nampak seorang penerima rumah yang miskin dan tua menandatangani kontrak pembangunan rumah dengan membubuhkan cap jari.
Posted by Picasa